BOLMONGRAYA.CO – Semasa mengemban amanah sebagai Presiden Republik Indonesia (RI), KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menerapkan beberapa langkah penting dalam menjaga disintegrasi bangsa. Dalam konteks penyelesaian konflik di Papua misalnya, Gus Dur setidaknya menempuh dua kebijakan yang berbeda dibandingkan dengan pemerintah sebelumnya. Hal ini disampaikan penulis buku ‘Gus Dur, Islam Nusantara dan Kewarganegaraan Bhineka’ Ahmad Suaedy dalam acara bedah buku di Pesantren Al Muayyad Mangkuyudan Surakarta, Jumat (22/2).
“Pertama Gus Dur menerapkan tahrirur roqobah. Warga papua yang dulu dianggap sebagai musuh bahkan ‘budak’ (di era pemerintahan orba), kemudian disejajarkan kedudukannya sebagai sesama warga negara,” ungkap Suaedy.
Hal ini kemudian diimplementasikan dengan pemberian otonomi khusus kepada rakyat Papua. Selain itu juga ditunjang dengan adanya jaminan Hak Asasi Manusia (HAM), hal serupa yang kemudian diterapkan di Aceh.
“Kebijakan kedua yang diambil Gus Dur, yakni memberikan penghormatan tradisi yang dipegang oleh masyarakat papua,” lanjutnya.
Kebijakan ini tercermin semisal pada konteks penamaan kembali Papua (sebelumnya Irian Jaya).
“Padahal dulu di era orba, kalau ada yang menyebut nama papua di sana, resikonya bisa tiga hal, yakni hilang, ditangkap, atau bahkan ditembak,” kata Suaedy.
Sementara itu, putri Gus Dur Inayah Wahid mengutip kalimat dari sang ayah, bahwa tidak akan ada perdamaian tanpa keadilan.
“Maka apa yang kita bicarakan ini, menjadi warisan Gus Dur yang penting untuk kita rawat,” ungkapnya.
Dalam kegiatan yang menjadi rangakaian peringatan Haul ke-9 Gus Dur di Kota Solo Jawa Tengah berlangsung di pendapa pesantren itu turut dihadiri sejumlah tokoh di antaranya KH A Rozaq Shofawi, KH M Dian Nafi, Wahyu Muryadi, Zastrouw, dan sejumlah tokoh dari kalangan lintas agama dan golongan.
Sumber: NU Online