Oleh : HARMOKO MANDO
SEBELUM adanya pemilu tahun 1955 di Indonesia. Bahkan jauh sebelum Indonesia mengenal dengan adanya demokrasi, dan sebelum lahirnya demokrasi di Negara Eropa, Sulawesi Utara (Sulut), sudah mengenal dan mempratekan di Tatanan lokal proses berdemokrasi dan melahirkan consensus, antara rakyat dan pemimpin.
Ketika penulis mencoba menariknya ke lingkup kesukuan yang ada di Sulut, khususnya Bolaang Mongondow dan Minahasa yang merupakan suku terbesar di Sulut, maka terdapat fakta sejarah bahwa proses demokrasi sudah lebih dulu lahir dan bahkan ini merupakan spirit yang harus dijaga.
Dalam fakta sejarah, consensus-konsensus ini perna terjadi disaat bagaimana kemudian para waraney minahasa melakukan konsensus dengan mengumpulkan 12 suku atau koloni yang bersatu dalam persekutuan Adat watu pinabetengan, di bolaang Mongondow dimana para raja raja di empat eks suapraja melakukan perjanjian yang dikenal dengan perjanjian paloko kinalang atau dikenal dengan rakyat dan pemimpin yang menghasilkan kesepkatan yang menjadi rujukan bagi pemimpin untuk melayani rakyatnya.
Dalam kesepakatan ini ada hal yang menarik sebagai spirit dalam konteks demokrasi modern, Kita tau bersama dalam konteks demokrasi modern pemimpin diambil sumpah dan janji jabatan saat dilantik.
Tetapi, dalam konteks demokrasi masalalu orang bolaang mongondow pemimpin diambil supah dan janji dan dituliskan dalam sebuah kesepakatan sebelum dipilh dan di ambil sumpah dan janji
Dilihat dari studi kasus dalam perhelatan demokrasi yang sudah berjalan, misalnya ada sebuah kasus yang perna terjadi dan timbul perdebatan public yang menyebabkan saling bersengkatanya antara peserta pemilu dan penyelengara pemilu baik KPU maupun Bawaslu.
Polemik ini tentunya, menjadi pelajaran politik bagi kita dalam menata kembali ruang demokrasi kita . dan ini tentunya perlu adanya penguatan dan produk dan kepastian hukum yang jelas.
Selain itu, politik uang dan sara yang tidak bisa di nafikan dalam konteks demokrasi kita yang selalu hadir dalam setiap kontentasi atau pergelatan demokrasi sudah merupakan hal yang lumrah dan semakin tak terelakn yang menjadi tangung jawab kita bersama.
Tentunya kita punya spirit masa lalu yang harus digali kembali dan di elaborasikan dalam konteks demokrasi modern mengingat demokrasi adalah sebuah momentum 5 tahunan yang menguji kesadaran berpolitik dan berdemokrasi rakyat.
Pemilu serentak 2024 adalah hal yang baru bagi proses panjang perjalanan demokrasi kita dan apabila demokrasi itu reduksi dalam konteksi pemilihan rakyat dengan suara terbanyak maka yang ada adalah perang saudara dan tentunya kita harus menyiapkan regulasi serta produk hukum yang jelas sebagai tameng dan untuk melindungi hak pilih diseluruh negeri.