BOLMONGRAYA.CO, KOTAMOBAGU- Pihak Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kotamobagu resmi memberikan klarifikasi terkait meninggalnya pasien asal Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong) usai menjalani operasi persalinan.
Dalam konferensi pers yang digelar di RSUD Kotamobagu, Kamis, (7/8/2025) pihak rumah sakit menegaskan bahwa penanganan medis yang diberikan kepada pasien sudah sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP).
Kepala Seksi Pelayanan Medik RSUD Kotamobagu, dr. Angel Yecylia, membantah adanya kelalaian pihak RSUD sebagaimana tudingan yang ramai beredar di media sosial.
“Pelayanan yang telah kami lakukan di RSUD Kotamobagu itu sudah sesuai SOP. Tidak ada melalaikan, tetapi kondisi yang terjadi pada pasien ini dengan tindakan medik, tentu ada respon yang berbeda-beda, karena tidak semua pasien sama dan terutama yang diprotes mengenai kelalaian. Kami tegaskan lagi tidak ada kelalaian, karena kami bekerja sesuai dengan prosedur dan catatan medisnya jelas dan lengkap,” terang dr. Angel.
Dalam kronologi kejadian, dr. Angel menjelaskan bahwa pasien masuk rumah sakit dalam kondisi hamil cukup bulan dan dipersiapkan untuk tindakan operasi pada hari Senin (4/8), proses operasi awalnya berjalan lancar, namun pasien memiliki riwayat hipertensi.
Dokter spesialis kandungan yang menangani pasien, dr. Tarti Manoppo, M.Kes, SpOG, menjelaskan, pasien telah menjalani pemeriksaan rutin sebelumnya dan memiliki tekanan darah tinggi.
“Pasien ini minum obat teratur. Dia pun memeriksakan kondisinya ke saya dua kali, terakhir tanggal 28 Juli 2025, itu tekanan darahnya sudah 140 per 100. Di situ saya langsung berikan obat. Ketika saya sampaikan ke pasien bahwa pasien punya riwayat darah tinggi, pasien mengaku ia pun tidak tahu, sehingga saya berikan dia obat hipertensi. Saat itu pasien menanyakan bagaimana proses persalinannya nanti, nah saya pun sampaikan jika saya kembalikan ke keluarga seperti apa keputusannya,” terang dr. Tarti dalam keterangannya.
“Saya juga sudah sampaikan ke pasien jika pasien ini sudah berusia 37 tahun, sudah risiko tinggi dengan hipertensi dan anak sudah 3. Sehingga saya menyampaikan jika persalinannya dilakukan dengan cara cesar tapi itupun ada risiko, seperti pendarahan, atau karena si ibu punya riwayat darah tinggi atau hipertensi bisa terjadi kematian di meja operasi. Itu semua sudah dijelaskan waktu pasien ini periksa kehamilan di tempat praktik saya. Keluarga pasien pun bilang jika hal itu akan dirundingkan dengan seluruh keluarga terlebih dahulu,” tuturnya.
“Jadi saya waktu itu tidak memberikan pengantar untuk dilakukan tindakan apapun seperti operasi. Pokoknya dirundingkan dulu sebab masa kehamilan sudah cukup bulan,” tambahnya.
“Hari Minggu siang, pasien masuk. Ada bidan yang bertanya ke pasien apakah ada pengantar, namun pihak keluarga mengaku tidak ada pengantar dari dokter, dan mereka hanya bawa hasil USG. Pasien ini masuk satu hari sebelum dilakukan operasi. Jadi pasien ini ada kesempatan untuk berpikir dan berdiskusi dengan keluarga, sebab ini sangat berisiko. Saya sampaikan jika melahirkan secara normal maupun tindakan cesar pasti punya risiko masing-masing. Apalagi ini kondisi pasien punya riwayat hipertensi dan usia yang masuk kategori high risk pregnancy atau kehamilan yang sangat berisiko,” ujarnya.
“Dia masuk langsung dipersiapkan untuk operasi dengan peralatan dan kesiapan yang lengkap. Nah, sampai persiapan darah itu harusnya dua kantong, tapi pihak keluarga tanda tangan dengan alasan meski hanya satu kantong darah, karena alasan suami pasien ada pendonor. Sehingga dilakukanlah operasi. Saat operasi, pasien dengan keadaan stabil, tidak ada masalah, anak sempat keluar dan pasien bertanya jenis kelamin anaknya. Saya langsung sampaikan jika anak pasien ini adalah perempuan,” ungkapnya.
“Nah saat proses jahit bagian kulit bagian luar karena sekalian pasien minta disterilkan. Tiba-tiba ada henti jantung di antara perjalanan operasi. Saya berwajib tetap selesaikan tugas saya dan tidak ada pendarahan sama sekali. Pasien masuk tidak ada pengantar jadi tidak ada pemaksaan untuk dilakukan operasi,” ungkapnya lagi.
Dr. Angel menambahkan bahwa pasien mengalami henti jantung, kondisi yang bisa terjadi kapan saja dan tidak dapat diprediksi.
“Jadi pasien ini mengalami henti jantung yang dimana kondisi ini bisa kapan saja dan bisa terjadi pada siapa saja. Nah, kondisi hrnti jantung ini kami tidak bisa prediksi kapan terjadi, setelah selesai dilakukan operasi maka kami langsung melakukan tindakan dipindahkan ke ICU. Di situ penanganannya intensif menggunakan peralatan khusus,” kata dr. Angel
“Di meja operasi pasien tiba-tiba henti jantung. Kemudian memang masuk ruangan ICU atau Ruangan Intensif karena tidak sadarkan diri,” ungkapnya.
Lebih lanjut, RSUD Kotamobagu juga telah berupaya maksimal melakukan rujukan ke berbagai rumah sakit rujukan di Manado, namun seluruh rumah sakit dalam kondisi penuh.
“Kami sudah berusaha merujuk, tapi rumah sakit di Manado rata-rata penuh. Jika kami paksakan untuk rujuk juga sangat berbahaya karena pasien menggunakan ventilator dan harus mendapatkan penanganan khusus,” ujarnya.
Nah, kenapa tidak bisa dirujuk karena ada namanya SISRUTE atau sistem rujukan. Tanpa itu tidak bisa dilakukan rujukan antar rumah sakit, jadi mulai dari RS Prof Kandouw, Siloam, Centra Medika, RS Awaloedin sampai ke RS ODSK kami berusaha untuk rujuk, tapi SISRUTE penuh. Kami merujuk, tapi memang kondisi rumah sakit di Manado semua penuh. Pak Direktur RSUD Kotamobagu pun sudah berusaha menghubungi rumah sakit di Manado tapi memang alasan mereka penuh, sementara rumah sakit yang layak untuk rujuk pasien harus ada ventilator. Nah semuanya penuh, sehingga pasien kami ini tidak mendapatkan tempat,” ujar dr. Angel menjelaskan.
Pihak RSUD Kotamobagu menyampaikan duka cita mendalam kepada keluarga pasien, serta berharap masyarakat tidak termakan isu miring yang beredar di media sosial. Seluruh proses medis telah dilakukan sesuai prosedur, dan kondisi pasien memang termasuk kategori kehamilan risiko tinggi.**