BOLMONGRAYA.CO, BUTON TENGAH — Angin laut dari Teluk Lasongko berhembus lembut ke daratan Tolandona, seolah membisikkan kabar gembira tentang sebuah perayaan yang ditunggu-tunggu oleh warga: Kande-Kandea. Sabtu, 12 April 2025.
Di desa kecil yang bersandar pada tepian laut ini, tiap tahun setelah Idul Fitri, kehidupan seolah mencapai nadir yang paling harmonis. Tak sekadar pesta rakyat, Kande-Kandea adalah lembaran kitab budaya yang dibacakan ulang dengan khidmat, penuh rasa syukur, dan cinta terhadap tradisi. Bukan sekadar seremoni, tahap demi tahap prosesi adat Kande-Kandea adalah cermin jati diri Buton Tengah.
Ziarah Leluhur: Menyapa yang Tak Terlihat
Prosesi panjang Kande-Kandea dimulai dari sunyinya makam. Di Sabtu pagi, rombongan warga berjalan pelan menuju pemakaman Mia Patamiana dan Sangia Wambulu. Dengan kepala tertunduk dan bunga di tangan, mereka menyapa leluhur yang dulu menanam benih peradaban.
“Sangia Wambulu bukan hanya imam masjid di masa Kesultanan Buton, beliau adalah cahaya pertama di gelapnya zaman,” ucap Camat Sangia Wambulu, Yusni R Mahdi, penuh takzim. Dalam doa-doa itu, terselip harapan agar restu para leluhur terus mengalir dalam darah anak cucu Tolandona.
Udara sejuk terasa berbeda, seperti ditingkahi aroma dupa yang samar. Di bawah pohon tua, doa-doa dilantunkan dengan haru, menyebut nama-nama leluhur yang telah lama bersemayam dalam sunyi.
Namun, tahun ini ada sesuatu yang berbeda.
Di tengah prosesi ziarah, seorang perempuan muda tiba-tiba jatuh terduduk di dekat pusara Sangia Wambulu. Tubuhnya gemetar, matanya kosong, lalu perlahan-lahan ia berdiri dan mulai menari—gerakan tangannya melengkung indah, kakinya menghentak tanah dengan ritmis, dan tubuhnya meliuk seperti mengenang sebuah lagu lama.
Hening menyelimuti kerumunan. Wajah-wajah tercengang, ada yang merapatkan tangan ke dada, ada pula yang meneteskan air mata.
“Itu bukan kerasukan biasa,” ucap Yusni kemudian, dengan suara yang berat dan penuh makna. “Itu adalah tarian asli Sangia Wambulu. Leluhur kami datang… untuk mengingatkan bahwa ia belum dilupakan.” tuturnya.
Tarian itu seolah membelah waktu. Hadirnya bukan untuk menakuti, tapi menyapa—menghidupkan kembali satu fragmen budaya yang selama ini hanya tertulis dalam ingatan tua. Di sanalah batas antara dunia nyata dan gaib melebur, menegaskan bahwa Kande-Kandea bukan hanya milik manusia yang hidup, tapi juga bagian dari semesta yang tak kasatmata.
Palanto: Laut sebagai Sumber dan Simbol
Usai ziarah, berikutnya, masyarakat nelayan berkumpul di bibir pantai untuk menggelar Palanto. Hasil laut—ikan, kerang, cumi—disusun rapi, bukan untuk disembah, tapi dipersembahkan sebagai rasa syukur kepada Allah SWT.
“Palanto itu bukan ritual mistik,” tegas Yusni. “Ia simbol bahwa kami tidak pernah melupakan siapa yang memberi rezeki, dan dari mana kami berasal.” Diiringi doa dan kidung laut, persembahan ini melarutkan batas antara religiusitas dan kebudayaan. Air mata mereka mengering bersama matahari pagi, menyisakan kebahagiaan sederhana: bisa berbagi hasil bumi dalam damai.
Kande-Kandea: Bertemu dalam Adat, Bersatu dalam Cinta
Puncak perayaan Kande-Kandea menjadi perjamuan megah yang dihadiri oleh pemerintah, tokoh adat, dan seluruh lapisan masyarakat. Di lapangan Lamedadi, Tolandona, barisan anak gadis berpakaian adat menanti tamu dengan talang-talang makanan berisi kue, buah, dan nasi ketan. Setiap suapan yang mereka sodorkan adalah simbol persaudaraan, keramahan, dan cinta.
Tarian tradisional seperti La Naga dan Wandiu-ndiu membungkus panggung budaya yang ditampilkan di hadapan para tamu. Gerakan lemah gemulai berpadu dengan irama gong menciptakan suasana magis.
“Kande-Kandea adalah panggung silaturahmi, bukan hanya antarwarga, tapi juga antara pemerintah dan rakyat,” ujar Yusni. Perayaan ini kini telah menjadi bagian dari Kalender Event Daerah dan Nasional, membuktikan bahwa tradisi bukanlah barang usang, tapi permata yang bersinar.
Kande Tompa: Suapan yang Menyulam Cinta
Malam hari tiba, dan desa diterangi oleh lentera serta nyanyian syair kuno. Prosesi Kande Tompa dimulai—sebuah bagian yang paling dinantikan, terutama oleh para bujang dan gadis. Di bawah tenda, para perempuan menyuapi para lelaki dengan penuh kelembutan. Bukan sekadar suapan makanan, melainkan pengikat rasa, harapan akan jodoh, atau sekadar doa akan rezeki, kebaikan, dan untuk keberkahan hidup.
Tradisi tua ini bermula dari kisah heroik empat pemuda (Mia Patamiana) Tolandona yang kembali dari medan perang dan disambut dengan suapan cinta oleh keluarga mereka. Kini, Kande Tompa menjadi metafora kasih sayang dan pengakuan sosial, bahwa cinta dan keberanian layak dirayakan.
Joged: Antara Kebersamaan dan Renungan
Dan tibalah malam joged—malam yang tak hanya penuh tawa, tapi juga penuh makna. Di tengah lingkaran manusia, tua dan muda menari bersama. Tak ada status, tak ada jarak. Hanya alunan musik tanah, kaki-kaki yang menghentak, dan tubuh yang mengalun bebas.
Namun, bagi sebagian yang memperhatikan lebih dalam, joged bukan sekadar tarian. Ia adalah manifestasi dari rasa solidaritas satu kampung, satu saudara. “Karena merasa satu Tolandona, maka kebersamaan itu dilampiaskan dalam joged setelah satu minggu bekerja full,” tutur Yusni.
“Dulu, siapa yang bagus akhlaknya adalah mereka yang menjaga adab. Saat capek, saat letih, dan joged jadi pelampiasan kebahagiaan sekaligus bentuk penyegaran jiwa.” imbuhnya.
Tapi zaman berubah.
“Kalau dulu, joged itu untuk hilangkan lelah setelah kegiatan adat,” lanjut beliau. “Sekarang, capek tidak capek, semua orang datang hanya untuk joged. Nilainya mulai bergeser. Maka kami mulai perlahan—tidak menghapus, tapi mengarahkan kembali. Karena ini warisan, kita harus bijak merawat,” terangnya.
Joged malam itu jadi renungan. Antara gempita dan bisikan hati, antara riang dan rindu pada nilai yang mulai pudar. Di antara gerak tubuh yang melingkar dan bunyi gendang yang bertalu, terselip doa diam-diam: semoga yang berubah hanyalah waktu, bukan nilai.
Dari Tolandona kita belajar bahwa Kande-Kandea bukan sekadar seremoni. Ia adalah peristiwa budaya yang menampung nilai spiritual, sosial, dan estetika sekaligus. Ia mengajarkan bahwa silaturahmi adalah jembatan panjang antara masa lalu dan masa depan. Di Tolandona, di bawah langit biru Buton Tengah, tradisi masih hidup. Dan selama Kande-Kandea masih dipentaskan, selama itu pula jantung budaya tetap berdegup.
Reporter: Sadly