Sore itu, tepatnya Senin 17 Agustus 2020, saya, Imran, Gian dan Ismail baru kembali dari rutinitas kerja sehari-hari. Kami memilih Kedai Kopi Jarod sebagai tempat persinggahan, melepas lelah, canda dan tawa setelah sehari berjibaku dengan panas saat meliput berbagai kegiatan di wilayah Bolaang Mongondow.
Sebagai sesama pewarta, sudah tentu sore hari adalah jam-jam sibuk bagi kami, karena deadline berita yang harus diselesaikan untuk dikirim segera ke meja redaksi.
Sudah hampir dua jam memainkan jemari dan menyelesaikan tugas berita di handphone Realme 3 yang menjadi teman sehari-hari saat liputan (maklum, mungkin saya belum ditakdirkan memiliki laptop seperti sahabat jurnalis yang lain) saya memesan kopi kepada Li’, sahabat sejatinya para pewarta yang sering berkunjung di kedai tempatnya bekerja.
Duduk sambil menyeruput kopi panas yang telah dihidangkan, mendadak saya merasa gamang, ternyata sudah 75 tahun kita merayakan kemerdekaan seperti ini, belum terlalu banyak hadiah yang kita persembahkan untuk Negara dan Daerah tercinta. Padahal kita hanya ditugaskan untuk mengisi kemerdekaan, tidak seperti halnya pejuang dahulu yang rela mati-matian, mengorbankan seluruh tumpah darah, untuk merebut hingga mempertahankan kemerdekaan, hingga atas jerih payah mereka itu kita bisa nikmati hingga sekarang ini.
Terus menyeruput sambil melihat kumpulan muda mudi yang bercengkrama memadati kedai, saya terpikir akan diskusi dengan Kak Widdy Mokoginta beberapa bulan yang lalu, senior segudang ilmu pengetahuan, syarat pengalaman dibidang politik, sosial kemasyarakatan, bagiku paripurna secara intelektual, paham akan seluk-beluk Bolaang Mongondow dahulu hingga masa sekarang ini.
Bahasan kami saat itu, tentang Kawasan Industri Mongondow atau sering disebut Kimong, kata pendek yang sangat familiar di tengah masyarakat sekarang ini, sarat dengan makna, serta begitu banyak impian di dalamnya. Kata yang sudah hampir enam bulan ini, masuk menghiasi alam bawah sadar saya, beserta kemegahannya nanti.
Sebuah kawasan industri yang rencananya akan di bangun di wilayah Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara. Wilayah yang berpenduduk lebih dari 250 ribu jiwa, serta mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani dan nelayan.
Bagi Kak Widdy, Kimong adalah mahakarya besar pemimpin Daerah sekarang ini, sebab menurutnya, belum ada dalam catatan sejarah Daerah ini, yang mampu melahirkan konsep membangun sebesar itu.
“Kawasan Industri ini adalah mahakarya besar dik,” ucapnya.
Sambil duduk dan terus mengingat penjelasan dari Kak Widdy saat itu, khayalku mulai menerawang jauh, mencoba berimajinasi menikmati jejeran gedung-gedung megah dan pabrik-pabrik, pusat-pusat pertokoan, beserta ribuan orang yang lalu lalang memadati kawasan industri tersebut.
“Kimong, pasti akan menjadi sentrum interaksi sosial masyarakat, serta putaran ekonominya pun pasti jauh lebih besar,” pikirku.
Ingatku, Kak Widdy juga mengatakan akan ada perubahan status sosial-ekonomi masyarakat secara cepat, karena semua hasil bumi yang akan kita dijual, baik Kopra, Cengkih, Padi, biji Cokelat dan lain sebagainya, akan memperoleh nilai jual yang memuaskan bagi kita petani, sebab posisi kawasan industri yang ada di wilayah kita.
“Putaran ekonominya akan cepat, sebab jarak dan biaya sudah tidak menjadi kendala lagi bagi masyarakat kita,” jelasnya.
Kimong akan memperkuat Identitas Daerah kita, seperti halnya daerah-daerah yang sudah maju lebih dahulu, sebab ketika orang melihat Kimong, pasti tujuannya adalah wilayah Bolaang Mongondow (Bolmong).
“Sudah saatnya Daerah Bolaang Mongondow melangkah maju kedepan, keluar dari ketertinggalan pembangunan infrastruktur, serta sumberdaya manusianya,” Jelasnya.
Diskusi itu sangat singkat, namun sangat berarti bagi saya pribadi, bagiku ilmu pengetahuan akan menghampiri bagi orang-orang yang ingin berusaha mencarinya.
“Entah kapan lagi bisa berdiskusi bersama,” Pikirku.
Sambil terus menyeruput kopi, rasanya ada tambahan imun dalam raga yang terasa, setelah mengingat diskusi tersebut, gairah untuk mengingat kembali buku-buku yang sudah lama tersimpan rapi di dalam lemari memuncak. Rasanya ingin saya buka kembali semua lembaran-lembaran yang pernah dibaca, mencoba mengkomparasikan peristiwa Dunia dengan peristiwa yang akan terjadi nanti di daerah ini.
Mencoba mengingat, namun hanya satu yang teringat, buku yang saya peroleh dari seorang sahabati beberapa bulan lalu, buku 424 halaman yang judulnya: “Dunia Yang Berlari” , karya Yasraf Amir Piliang.
Baginya, dunia ini sedang berjalan dengan kecepatan yang tinggi, dengan tempo yang meningkat, dengan waktu yang dipadatkan, dengan ruang yang dimampatkan dan dengan durasi yang diringkaskan. Inilah dunia yang terus bergerak, berpindah, bertransformasi dan mengubah diri secara tanpa henti dan tanpa jeda.
Di dalam penjelasannya, “kecepatan” dan “percepatan” merupakan prinsip dasar dalam ekonomi, politik, sosial, media, dan seni. Kecepatan dan percepatan kini tidak saja menjadi ukuran kemajuan, tetapi juga menjadi paradigma sosial, politik, ekonomi, budaya dan kehidupan kontemporer.
Jika dunia sudah seperti yang digambarkan oleh Piliang, maka tidak ada pilihan untuk kita menyesuaikan diri dengan kondisi sekarang ini. Semua akan ikut berlari, saya, kamu dan daerah ini, agar tak tergilas oleh laju percepatan. “Diam berarti mati!” kata Paul Virilio.
Diskusi itu telah berlalu, sama halnya dengan kopi yang hampir habis terseruput bersama ampas-ampasnya. Namun, banyak pesan-pesan positif yang tertinggal, sama seperti cafein yang tertinggal juga di dalam tubuh. Hanya ingat yang akan menjadi petanda, bahwa pernah ada gagasan besar yang lahir di Bumi Totabuan Bolaang Mongondow, dan akan berusaha diwujudkan oleh Pemimpin Daerahnya.
Tugas kita sebagai penerus perjuangan para pejuang bangsa, hanyalah berusaha mengisi kemerdekaan ini dengan sebaik-baiknya. Terus belajar, menimba ilmu sebanyak-banyaknya, karena hanya dengan ilmu pengetahuan kita akan menjadi penerus-penerus pejuang bangsa yang merdeka.
Kita persiapkan diri untuk menyongsong masa depan negara, bangsa dan daerah dengan sebaik-baiknya. Kita bangun daerah tercinta ini dari ketertinggalan hampir di seluruh leading sector. Kita manfaatkan sumber daya alam yang kita miliki untuk pembangunan daerah dan kesejahteraan rakyatnya. Kita bangun manusianya, agar memiliki sumberdaya yang unggul, terampil serta berdaya saing.
Kita harus terus mengasah potensi diri menghadapi tantangan zaman, apa terlebih di era digitalisasi dan kecanggihan teknologi yang terus menerus berevolusi sekarang ini. Berbagai Ilmu pengetahuan yang mengharuskan kita sekarang ini untuk memiliki kecakapan dan kejelian untuk melahapnya. Maka inilah perjuangan kita yang sebenarnya, berjuang untuk menjadi pelaku sejarah khususnya di daerah kita. Berjuang untuk menggapai mimpi-mimpi pejuang yang belum tercapai, berjuang untuk kesejahteraan rakyatnya, berjuang untuk kemandirian daerahnya, dan demi masa depan generasi penerus selanjutnya.
Inilah Ikhtiar kita yang sebenarnya, agar daerah ini tak terhempas jauh dari putaran dunia yang sedang berlari, terombang-ambing bagai daun yang lepas dari tangkainya, akan terinjak, kering, lalu terurai tak berbekas. Inilah dunia yang serba cepat, dunia yang dipenuhi jargon-jargon kecepatan, yang merupakan cermin masyarakat saat ini (seperti penjelasan piliang).
Maka untuk Negara, Bangsa dan generasi penerus perjuangan para pejuang yang telah mendahului, berdirgahayulah yang ke-75 Tahun. Cepat pulihlah dari kondisi pandemic Covid-19 yang mewabah saat ini, cepat membaiklah dari guncangan kondisi ekonomi saat ini, cepat pulilah dari semua hal-hal yang tidak baik saat ini, agar engkau bisa mengepakkan sayap-sayap mu jauh terbang melintasi luasnya samudera, dan tingginya bintang-bintang, tetap tegak berdiri dan ucapkanlah bahwa ini adalah INDONESIA.
Matali, Kedai Kopi Jarod, Senin 17 Agustus 2020.
Penulis : ADRIANSA BANGOL.