Oleh: Murdiono P. A. Mokoginta
Tahun 1893 Raja Riedel Manuel Manoppo diangkat menjadi Raja Bolaang Mongondow menggantikan Raja Abraham Sugeha yang meninggal pada tanggal 3 Desember 1891. Di hadapan Residen Manado, Eeltje Jelles Jellesma (1892-1903), Riedel Manuel Manoppo yang sebelumnya masih menjabat sebagai Panggulu (Patih) Kotabunan menandatangani kontrak Akten Van Verband En Van Bevestiging No. 22 Tanggal 14 Oktober 1893.
Akten Van Verband En Van Bevestiging No. 22, 14 October 1893
Kontrak itu bersisi pengakuan Raja Bolaang Mongondow, Riedel Manuel Manoppo terhadap adanya pemerintahan Hindia Belanda di samping kerajaan-kerajaan merdeka lainnya di Nusantara. Kontrak ini juga menjamin bahwa raja akan mematui dan menjalankan semua kontrak yang telah berlaku antara raja-raja pendahulunya dengan Pemerintah Belanda, dan supaya antara kedua negara perlu saling berkolaborasi dan berkonsultasi bilamana diperlukan penafsiran-penafsiran terhadap kontrak terdahulu agar tidak terjadi kesalahpahaman. Akhirnya dengan kontrak No. 22 Tanggal 14 Oktober 1893, Raja Riedel Manuel Manoppo diakui secara resmi menurut hukum kolonial sebagai kepala negara di Kerajaan Bolaang Mongondow.
Dua tahun kemudian Belanda membuat kontrak lagi dengan Raja Riedel Manuel Manoppo ‘Contract Met Bolaang Mongondou’ Tanggal 22 Oktober 1895. Isi kontrak ini antara lain pengaturan tentang batas-batas alam antara Bolaang Mongondow dan kerajaan juga wilayah lain di sekitarnya. Melalui kontrak ini pula, untuk pertama kalinya, ditegaskan langsung mengenai pernyataan untuk setia kepada Kerajaan Belanda, pengakuan supermasi, sehingga nampak mengubah status Kerajaan Bolaang Mongondow yang sebelumnya sejajar dengan Belanda, kini seakan justru menjadi wilayah taklukan saja.
Bagi Belanda, Kontrak 22 Oktober 1895 telah menjadi dasar ‘Pengakuan supermasi, kesetiaan, dan ketundukan Bolaang Mongondow kepada Pemerintah Kolonial Belanda yang diwakili oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda yang masa itu dijabat oleh Carel Herman Aart van der Wijck (1893-1899). Di satu pihak, Raja Bolaang Mongondow menafsirkan poin tentang “supermasi, setia, tunduk” yang dimaksud dalam kontrak ini sama saja dengan isi perjanjian-perjanjian sebelumnya yang hanya mengakui supermasi pemerintahan Belanda di wilayah yang telah mereka kuasai, lalu setia dan tunduk pada isi-isi perjanjian (bukan pada Belanda) yang dibuat para raja-raja terdahulu dengan Belanda di lain pihak tanpa mengubah status apapun dalam Kerajaan Bolaang Mongodow.
Penafsiran pasal-pasal dalam kontrak 22 Oktober 1895 menjadi riak-riak permasalahan antara Kerajaan Bolaang Mongondow dan Keresidenan Manado. Raja Riedel Manuel Manoppo dituduh sebagai raja pesakitan pecandu opium bersama dengan pengikut-pengikut setianya. Sementara raja menuduh pihak Residen Manado mencuri tanah airnya secara sepihak melalui pembentukan Afdeeling Bolaang Mongondow dan mengambil wilayah Mongondow sebagai Ibu Kota wilayah administratif yang dibentuk oleh Belanda pada awal abad ke-20.
Pembentukan Afdeeling di Keresidenan Manado 1901
Tanggal 1 Juli 1901 Sekretaris Jendral Hindia Belanda C.B Nederbrug menandatangani Besluit van Gouverneur-Generaal No. 32 (Staatsblad. 249) tentang pembentukan delapan Afdeeling di Keresidenan Manado antara lain:
- Afdeeling Manado yang terdiri atas landschap Manado, Bantik, Tonsea, Maumbi;
- Afdeeling Tondano yang terdiri atas landschap Tondano-Toulian, Tondano-Toulimambot, Kakas-Rembokken, Tomohon-Sarongsong, Langowan, Kakaskassen en Passan-Ratahan-Ponosakan;
- Afdeeling Amurang, terdiri dari distrik Tombassian, Romoön, Tompasso, Kawangkoan, Sonder, Tombariri dan Tonsawang;
- Afdeeling Bolaang Mongondow terdiri atas Kerajaan Bolaang Mongondow, Kerajaan Bolaang Uki, Kerajaan Bintauna, Kerajaan Kaidipang dan Bolaang Itam.
- Afdeeling Gorontalo yang dibagi lagi menjadi dua sub-divisi; (1) Gorontalo, Telaga, Kabila, Tapa, Bone, Boalemo dan Pagoeat. (2) Limbotto, Tibawa, Batoedoa, Pagoejaman, Kwandang dan Attinggola.
- Afdeeling Bwool, yang terdiri dari lanskap Bwool-Paleleh.
- Afdeeling Tomini-Bocht, yang terdiri dari bentang alam Mooetong, Sigenti, Kasimbar, Toriboeloe, Ampibabo, Parigi, Sausoe, Posso dan Todjo, serta Mapane.
- Afdeeling Sangihe dan Talaut, yang terdiri dari bentang alam Kandhar, Taruna, Manganitu, Tabukan, Siaoe dan Tagulandang.
Dari delapan wilayah ini, Afdeeling Bolaang Mongondow merupakan wilayah administrasi kolonial yang baru saja dibentuk dibanding wilayah-wilayah lainnya. Bukan itu saja, dalam Besluit di atas menegaskan bahwa wilayah pedalaman Mongondow akan dijadikan sebagai Pusat Administrasi Afdeeling Bolaang Mongondow yang kemudian mendapat penolakan dari Raja Bolaang Mongondow, Riedel Manuel Manoppo pada tahun 1901.
Besluit van Gouverneur-Generaal No. 32 (Staatsblad. 249), regulasi pembentukan 8 Afdeeling di Keresidenan Manado
Sebagaimana dalam kontrak-kontrak sebelumnya bahwa segala pengambilan keputusan antara dua belah pihak (Belanda dan kerajaan) perlu melibatkan Raja sebagai kepala negara, Presiden Raja, Djogugu, dan Panggulu. Kenyataannya keputusan pembentukan Afdeeling Bolaang Mongondow dan penunjukan salah satu wilayah Kerajaan Bolaang Mongondow di pedalaman Mongondow sebagai Ibu Kota Afdeeling Bolaang Mongondow dilakukan sepihak tanpa melibatkan Raja Riedel Manuel Manoppo. Keputusan ini tidak mendapat penolakan dari raja-raja di Bolaang Uki, Bintauna, Kaidipang dan Bolang Itam. Mereka sepakat saja selama pusat administratif itu ditempatkan di wilayah netral yang bebas dari pengaruh Bolaang, dalam hal ini wilayah Mongondow.
Wilayah Mongondow sejak dahulu memang dikenal sebagai wilayah yang liar dan kurang beradab. Menurut Wilken dan Schwarz (1867: 48) otoritas Raja di wilayah Bolaang terhadap orang Mongondow tidak terlalu nampak. Orang-orang di sana justru lebih menghormati kepala suku mereka, kepala keluarga dibanding raja dan orang-orangnya. Hingga Islam masuk dan berkembang pada pertengahan abad ke-19, wilayah pedalaman masih memegang adat dan kepercayaan mereka terhadap nenek moyang.
Sebelum mengulas secara detail konstalasi politik dan konflik seputar pembentukan Afdeeling Bolaang Mongondow, perlu sedikit mengulas apa perbedaan Afdeeling Bolaang Mongondow, Kerajaaan Bolaang Mongondow, dan Wilayah Bolaang dan Mongondow sebagai berikut:
Pertama, Afdeeling Bolaang Mongondow adalah sebuah wilayah administrasi bentukan Belanda. Kepalanya adalah orang Belanda (Controleur), dan seluruh aturan dan adiministrasinya berada di bawah pengawasan langsung Belanda. Menurut Nur Laely dalam jurnalnya di Program Pascasarjana Pend. Sejarah Universitas Negeri Makassar yang berjudul Sistem Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda di Onderafdeling Bonthain 1905-1942, dasar pemerintahan Hindia Belanda adalah Undang-Undang Dasar Kerajaan Belanda dan Undang-Undang Pemerintahan Hindia Belanda, yang dibuat oleh kerajaan untuk Pemerintahan Hindia Belanda yang hanya mengacu pada tahun 1825. (…) Pada dasarnya, undang-undang dasar mendeklarasikan bahwa Kerajaan Belanda terdiri atas wilayah Belanda, Hindia Belanda, Suriname, Kurasau, sehingga Hindia Belanda merupakan bagian integral kerajaan.
Di Hindia Belanda terdapat wilayah Keresidenan yang didalamnya ada Afdeeling dan Onderafdeeling. Maka sejak ditandatanganinya Besluit van Gouverneur-Generaal No. 32 (Staatsblad. 249) tentang pembentukan delapan Afdeeling di Keresidenan Manado, Kerajaan Bolaang Mongondow, Kerajaan Bintauna, Kerajaan Bolaang Uki, Kerajaan Kaidipang dan Bolaang Itam disatukan dalam Afdeeling Bolaang Mongondow yang secara administrasi merupakan bagian dari Hindia Belanda sebagaimana UUD Kerajaan Belanda tahun 1825. Klaim inilah yang kemudian ditentang oleh Raja Bolaang Mongondow, Riedel Manuel Manoppo.
Kedua, Kerajaan Bolaang Mongondow adalah sebuah negara dengan sistem pemerintahan tradisional sama dengan beberapa kerajaan lain di Nusantara. Sebagaimana konsep yang diajukan oleh Adrian B. Lapian (2009: 13) bahwa di masa lalu, peta politik Asia Tenggara pada abad XIX memuat sekian banyak satuan politik yang dapat digolongkan dalam berbagai jenis. Pertama, kerajaan pribumi, mulai dari yang merdeka penuh, setengah merdeka, sampai kerajaan yang sebenarnya praktis dikuasai penuh oleh salah satu negara kolonial. (…) Kedua, ada wilayah jajahan Barat yang tunduk kepada keputusan tertinggi dari pemerintah metropol di Eropa. Kerajaan Bolaang Mongondow berdasakan Contract Met Bolaang Mongondou, 22 Oktober 1895 resmi dianggap sebagai kerajaan yang takluk di bawah pemerintah Kolonial.
Ketiga, wilayah Bolaang dan wilayah Mongondow. Nama Kerajaan Bolaang Mongondow sebenarnya lahir dari gabungan dua nama wilayah ini. Sistem politik kerajaan Bolaang Mongondow dibagi atas Kerajaan yang dikepalai oleh seorang raja, Wilayah yang dikepalai oleh Presiden Raja, dan di dalam wilayah terdapat distrik-distrik yang dikepalai oleh Panggulu. Dalam Kerajaan Bolaang Mongondow terdapat dua wilayah yakni wilayah Bolaang (masuk di dalamnya Negeri Sangkub dan Distrik Bolaang) dikepalai oleh seorang Presiden Raja, dan Wilayah Mongondow (di dalamnya terdapat dua distrik yakni Passi dan Lolayan) yang juga dikepalai oleh seorang Presiden Raja. Menurut Wilken dan Schwarz (1867: 294), Jabatan Presiden Raja mulai diberlakukan sejak masa Raja Cornelis Manoppo (1819-1825). Presiden Raja berada setingkat di bawah Djogugu, dan di atas Panggulu sebagai kepala distrik.
Akhirnya pembentukan Afdeeling Bolaang Mongondow terwujud pada tahun 1901. Residen Manado menunjuk A.C. Veenhuijzen sebagai Controleur Afdeeling Bolaang Mongondow pertama. Kedudukan Controleur Afdeeling Bolaang Mongondow ditunjuk di sebuah tempat yang berada di dataran tinggi wilayah Mongondow. Berbagai pembangunan dan kegiatan Belanda di sana pada akhirnya menyeret gerakan sosial masyarakat pedalaman Mongondow untuk melawan Belanda bersama dengan para pengikut setia Raja Riedel Manuel Manoppo yang masih berpegaruh kuat di Bolaang meski tidak diakui lagi oleh Belanda.
Awal-Mula Konflik di Mongondow 1902
Pembentukan Afdeeling Bolaang Mongondow meski tidak mendapat penolakan dari empat Kerajaan Bolaang Uki, Bintauna, Kaidipang dan Bolaang Itam, tapi ditentang oleh Raja Riedel Manuel Manoppo dari Kerajaan Bolaang Mongondow . Raja dan Residen Manado memiliki penafsiran yang berbeda menganai isi kontrak 22 Oktober 1895. Menurut Raja, kontrak itu tidak mengubah status politik apapun dari Kerajaan Bolaang Mongondow terlebih menyatakan tunduk dan taat terhadap Kerajaan Belanda. Tapi menurut Residen Manado, pasal-pasal di dalam kontrak itu berbunyi pengakuan raja terhadap ketundukan, supermasi, dan ketaatan raja terhadap Ratu Belanda yang dalam hal ini wilayahnya adalah Hindia Belanda. Karena itulah, Belanda kemudian memasukan Bolaang Mongondow dalam Afdeeling yang dibentuk tahun 1901.
Perbedaan tafsir terhadap isi kontrak antara Kerajaan Bolaang Mongondow dan Pemerintah Belanda dalam pasal-pasal Contract Met Bolaang Mongondou, 22 Oktober 1895 semakin memperbesar masalah. Pada akhinya Residen Manado Eltje Jelles Jellesma memberhentikan Raja Bolaang Mongondow Riedel Manuel Manoppo dari kekuasaanya pada tahun 1901. Keputusan ini membuat penduduk di wilayah pesisir Bolaang gusar karena meski tidak diakui oleh Residen Manado sebagai raja, tapi secara hukum adat yang berlaku di sana, beliau tetap raja yang diakui wibawa dan kekuasaannya.
Melihat kondisi wilayah pesisir Bolaang yang semakin tidak menentu, Belanda lalu mengundang beberapa tetua adat, tokoh-tokoh masyarakat untuk perihal pengangkatan calon Raja Bolaang Mongondow yang baru menggantikan Raja Riedel Manuel Manoppo. Menurut Nurtina Gonibala Manggo (2002: 3) sebagaimana dalam memoarnya, pemerintah Belanda lalu menobatkan Datu Cornelis Manoppo untuk menjadi Raja Bolaang Mongondow. Sekalian memindahkan pusat Kerajaan Bolaang Mongondow dari pesisir Bolaang ke Kotobangon.
Sebagaimana isi Besluit van Gouverneur-Generaal No. 32 (Staatsblad. 249) yang ditandatangai sejak tahun 1901 bahwa pusat Afdeeling Bolaang Mongondow akan ditentukan di sebuah tempat yang berada di dataran tinggi Mongondow. Residen Manado, E.J. Jellesma menafsirkan kontrak 22 Oktober 1895 bahwa Kerajaan Bolaang Mongondow harus memberikan sebuah tempat seluas 1 tiang/segi (sekitar 1,2KM/segi) kepada Belanda untuk pembangunan Benteng, Kantor perusahaan, Kantor pemerintahan, kantor detasmen militer dan polisi. Tempat yang dimaksud itu ternyata adalah perkebunan Laha dan Papak yang berada di kawasan Pontodon, Pangian, Poppo (Mongondow)
Berdirinya Kota Baru dan Perlawanan Rakyat Pontodon 1902
Belanda mulai membangun kantor-kantor di wilayah perkebunan masyarakat Pontodon, Bilalang di Laha dan Papak sejak awal tahun 1902. Pemerintah mulai mendatangkan tenaga kerja untuk memulai projek pembangunan Ibu Kota Afdeeling Bolaang Mongondow.
Pegawai dan besaran gaji yang mereka terima untuk bekerja di sini antara lain: Controleur dengan gaji bulanan sebesar f 75 (tujuh puluh lima gulden); Adspirant Controleur dengan gaji bulanan sebesar f 35 (tiga puluh lima gulden); 2 petugas polisi dengan gaji bulanan masing-masing f 15 (lima belas gulden); Korps polisi bersenjata yang terdiri dari, 1 Instruktur Amboin dengan gaji bulanan sebesar NLG 50 (lima puluh gulden), 1 sersan asli dengan gaji bulanan sebesar NLG 30 (tiga puluh gulden), 3 kopral asli dengan gaji bulanan f 25 (lima dan dua puluh gulden), 30 petugas polisi (15 pangkat kelas satu dengan gaji 20 gulden (dua puluh gulden) setiap bulan, dan 15 Pangkat kelas dua dengan gaji bulanan NLG 17,50 (tujuh belas gulden dan lima puluh sen) setiap bulan (Lihat: Staatsblad van Nederlandsc-Indie, Besluit van Gouverneur-Generaal van Nedelrandch-Indie 10 Januari 1906 No. 32).
Oleh Belanda, wilayah yang kini tengah dibangun untuk Ibu Kota Afdeeling Bolaang Mongondow adalah Kota Baru yang berada di kawasan Laha dan Papak dekat Poopo (Mongondow). Pembangunan mulai dilaksanakan di bawah pengawasan polisi Belanda. Sayangnya meski mendapat dukungan dari pemerintah Kerajaan Bolaang Mongondow yang baru saja dipindah di Kotobangon, itu tidak menjadi jaminan bahwa rakyat hanya diam saja melihat berbagai aktifitas di sana. Bagi rakyat Belanda telah mencuri tanah mereka yang selama ini dijadikan tempat untuk mencari nafkah.
Kemarahan penduduk juga ditambah dengan agitasi dari para Abo’ (Pangeran Kerajaan) yang pro kepada Raja Riedel Manuel Manoppo. Mereka menyebarkan kepada masyarakat tentang rencana busuk Belanda untuk mengambil alih semua sumber daya masyarakat di sana baik pertambangan, perkebunan, dan tenaga kerja di mana dalam hitungan Belanda penduduk wilayah Mongondow yang terdiri sekitar 60.000 jiwa bisa dimobilisasi untuk itu. Tindakan agitasi yang dipelopori beberapa kaum bangsawan oleh Belanda dituduh sebagai upaya hasut dan fitnah yang sengaja disebar untuk menimbulkan konflik perlawanan rakyat di sana kepada Belanda. Ini setidaknya yang ditulis oleh E. J. Jallesma dalam artikelnya berjudul “Bolang Mongondo” terbit di surat kabar Het Vederland Staat-En Leterkundig Nieuwsblad (Vol. 37/ No. 134), Rabu, 7 Juni 1905, saat ia tidak lagi menjabat sebagai Residen Manado.
Surat Kabar: Het Vederland Staat-En Leterkundig Nieuwsblad (Vol. 37/ No. 134), Rabu, 7 Juni 1905
Sekitar bulan Juli 1902 konflik makin memanas karena masyarakat beberapa perkampungan; Pontodon, Bilalang, Genggulang, Pangian, Laha dan Popak mulai resah dengan aktifitas-aktifitas para pekerja yang seringkali bertindak semena-mena terhadap penduduk di sana. Selain itu muncul protes rakyat terhadap Belanda yang dianggap mengambil secara sepihak tanah milik rakyat Pontodon dan sekitarnya sehingga Raja Datu Cornelis Manoppo kemudian memberikan titah kepada penduduk untuk tetap menjaga stabilitas dan keamanan.
Makin lama kondisi di sana kian tak terkendali hingga akhirnya meletuslah ‘Perlawanan Rakyat Pedalaman Mongondow’ yang diperkarsai penduduk Pontodon, Bilalang, Pangian dan sekitarnya. Menurut Residen Manado, E.J. Jellesma, peristiwa gerakan rakyat ini terjadi pada tanggal 19 Agustus 1902. Kekacauan dan konflik ini berlangsung sepanjang bulan Agustus 1902 dan memakan korban tak terhingga dari kedua belah pihak. Pada hari pertama konflik korban dari pihak Belanda diperkirakan sebanyak 16 orang adapun dipihak rakyat tidak diketahui berapa jumlahnya.
Merujuk catatan pribadi S. Mokoginta yang ditulis pada 15 April 1989, didapat penulis dari arsip Muslim Paputungan, konflik di wilayah Pontodon pecah akibat penyiksaan dan penangkapan terhadap seorang penduduk Pontodon yang bernama Huruma yang bekerja sehari-hari sebagai penjual gula aren. Ia ditangkap karena dituduh sebagai mata-mata dari para penduduk asli. Akibat tindakan ini, akumulasi kebencian terhadap tindakan Belanda mencapai puncaknya hingga mereka menyerangan penjara Belanda di Desa Poopo pada pagi hari 19 Agustus 1902.
Koran Bataviaasch Nieuwsblad (Edisi 17 No. 244), Selasa, 23 September 1902
Beberapa surat kabar Hindia Belanda pada medio September-Oktober 1902 memuat berita konflik dan kerusuhan di Pontodon. Koran Bataviaasch Nieuwsblad (Edisi 17 No. 244), Selasa, 23 September 1902 menulis bahwa sebanyak 36 Detasmen Militer (Detachement Militairen) dan 10 polisi Belanda telah memasuki beberapa kampung di Pontodon, Genggulang, Biga, Laha dan Popak untuk menangkap semua laki-laki yang berada di desa itu. Dalam oprasi yang dilaksanakan diperoleh laporan bahwa semua penduduk telah meninggalkan desa dan yang tersisa 19 orang yang sudah ditangkap oleh tentara dan polisi. Berita-berita tentang ini dimuat juga dalam surat kabar Sumatra-Bode (Edisi 10/ No. 223), Sabtu, 27 September 1902; De Nieuwe Courant Dagblad Voor Nederland (Edisi 2/ No. 498), Selasa, 21 Oktober 1902; Dagblad van Zuid-Holland en s-Gravenhage (Edisi 1/No. 250), Kamis, 23 Oktober 1902, dan masih beberapa surat kabar lagi.
Kota Baru Ke Kota Mobagoe 1910
Hingga tahun 1905 situasi di Pedalaman Mongondow kian tak terkendali. Berbagai kekacauan, pembunuhan, pembakaran dilakukan oleh rakyat yang mebuat kondisi di sana tidak aman. Eltje Jelles Jellesma pada tahun 1905 saat sudah tidak menjadi Residen Manado mengusulkan agar pemerintah Belanda perlu mendirikan Detasmen Militer di wilayah Pusat Afdeeling Bolaang Mongondow karena kekahwatiran bahwa sewaktu-waktu 60.000 rakyat di wilayah Mongondow akan mengangkat senjata melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Kota Baru juga dianggap tidak lagi memadai akibat tingginya kriminalitas dan kekacauan di sana akibat tindakan penyerangan terhadap para pekerja yang makin masif. Kondisi ini menyebabkan Belanda mengambil keputusan untuk memindahkan wilayah pusat administrasi mereka ke tempat yang dirasa aman dari gangguan penduduk Pontodon dan sekitarnya dan agar kegiatan para pegawai Belanda bisa berjalan normal. Perencanaan pemindahan Kota Baru mulai bergulir sekitar tahun 1906 bersamaan dengan keluarnya Besluit van Gouverneur-Generaal No. 32 (Staatsblad. 41) tanggal 10 Januari 1906. Di antara pendekatan kultural yang dilakukan oleh Belanda untuk menunjukan sikap damai terhadap wilayah Mongondow adalah mengganti nama Kota Baroe menjadi Kota Mobagoe.
Besluit van Gouverneur-Generaal No. 32 (Staatsblad. 41),10 Januari 1906
Wilayah ini ditempatkan di dekat Kotobangon, Ibu Kota Kerajaan Bolaang Mongondow dan direalisasikan pada tahun 1910. Pada bulan Oktober 1910, Sekretrais Jendral Hindia Belanda STAAL menerbitkan Besluit van Gouverneur-Generaal No. 26 (Staatsblad. 519) tanggal 29 September 1906 tentang perpindahan Ibu Kota Afdeeling Bolaang Mongondow secara resmi dari kota Baroe ke Kota Mobagoe.
Van der Endt (1921: 29) dalam De Zending In Bolaang Mongondou menulis Kota Mobagoe adalah sebuah kota yang kaya dengan beragam entitas rakyat yang bukan hanya terdiri dari orang Mongondow saja, tetapi Minahasa, Bugis, Tionghoa, dan beberapa orang dari wilayah-wilayah lain. Sekitar tahun 1911 Kota ini diresmikan dan penuh dengan berbagai kegiatan masyarakat yang ramai. Dari sini kita melihat bahwa Kotamobagu lahir pada tahun 1910 setelah melewati berbagai konflik yang mencekam dan diresmikan pada tahun 1911 hingga menjadi sebuah kawasan yang ramai dengan berbagai aktifitas sosial masa itu baik perdagangan, kegiatan adimintasri pegawai, ibadah agama, dan sebagainya.
Membaca Kembali Kotamobagu
Perjalanan Kotamobagu setelah lahir pada 29 September 1910 dan diresmikan pada April 1911 telah melewati rentang waktu yang panjang dalam sejarah. Kota ini lahir sebagai sebuah rumah yang diharapkan bisa menghimpun seluruh kepentingan wilayah-wilayah yang masuk dalam Afdeeling Bolaang Mongondow baik Kerajaan Bolaang Mongondow, Kerajaan Bolango Uki, Kerajaan Bintauna, Kerajaan Kaidipang dan Bolang Itam. Kotamobagu kemudian menjadi pusat administrasi dari keseluruhan negara-negara ini.
Semua negara-negara di atas bersepakat untuk menjadikan Kotamobagu sebagai pusat administrasinya dalam Afdeeling Bolaang Mongondow. Meski lahir dari sebuah konflik dan pergulatan yang panjang, setidaknya Kotamobagu hingga kini tetap eksis sebagaimana fungsinya menjadi rumah bagi seluruh entitas yang ada di Bolaang Mongondow Raya. Sebagaimana kata Van Der Endt, Kotamobagu bukan hanya menjadi rumah bagi orang Mongondow, tetapi seluruh entitas yang berada di wilayahhnya, bahkan Bugis, Minahasa, Tionghoa, orang Eropa (pada masa itu), dan lain-lain, maka sudah sepatunya sejarah dan tujuan lahirnya Kota ini tidak bole dilupakan atau diabaikan.
Sejak tahun 1910 hingga kini Kotamobagu tetap menjadi wilayah yang bebas dan aman untuk semua pihak, golongan, suku, dan berbagai kelompok masyarakat. Agama dan kebudyaan berjalan harmonis di wilayah ini. Hingga sejak berdiri tahun 1910 sampai Indonesia merdeka, dan pada masa Bupati H.J.A. Damopolii Kotamobagu tampil sebagai wilayah pemersatu dari segala perbedaan yang ada di sana.
Dalam memoarnya Dodandian, Kinotanoban, dan Kisahku, H.J.A. Damopolii (2003: 126-127) menulis; “Sekitar tahun 1963 di Kotamobagu, masih sangat menonjol bahwa apabila bicara mengenai Mongondow maka barometernya tidak lain kecamatan dan hanya ada di Passi atau di Lolayan. Tegasnya orang Passi dan Lolayanlah yang memegang peranan mutlak, sehingga akhirnya persaingan yang amat menonjol antara kedua kecamatan ini. Bukan rahasia lagi, di mana ada saling menjatuhkan, apabila Passi yang naik atau Lolayan yang naik maka marga tertentu harus menjatuhkan”. Inilah sekelumit masalah yang timbul di wilayah pedalaman Mongondow yang kemudian menjadi keprihatinan beliau.
Pada masa itu Bupati H.J.A. Damopolii merasa perlu melahirkan kembali ruang di masa lalu yang pernah menyatukan seluruh wilayah-wilayah Kerajaan di Afdeeling Bolaang Mongodow yang terdiri atas 5 wilayah besar yaitu Bolaang Mongondow, Bolaang Uki, Bintauna, Kaidipang dan Bolang Itam yang dalam sejarahnya berpusat di Kotamobagu. Demi menyatukan dua kubu di pedalaman Mongondow, Passi-Lolayan maka H.J.A. Damopolii untuk kedua kalinya membuat sejarah baru dengan membentuk Kecamatan Kotamobagu pada medio tahun 80an.
Bukan itu saja, usaha untuk mengembalikan lagi fungsi Kotamobagu sebagai sebuah Kota sebagaimana status awalnya pada 1910, beliau memperjuangkan hal itu melalui dibentuknya panitia yang merumuskan penambahan jumlah kecamatan di Bolaang Mongondow. Damopolii menulis “Hasil kerja panitia ini, dimana saya sendiri selaku ketuanya, melahirkan penambahan 4 kecamatan baru sehingga Bolaang Mongondow waktu itu baru terdiri atas 11 kecamatan menjadi 15 kecamatan. Adapun kecamatan yang baru itu adalah Kecamatan Kotamobagu hasil pecahan Kecamatan Passi dan Lolayan, Kecamatan Modayag, Kecamatan Poigar, dan Kecamatan Kotabunan”. Langkah Bupati H.J.A. Damopolii ini siapa sangka dikemudian hari tercapai dengan lahirnya beberapa wilayah otonom baru di Bolaang Mongondow Raya.
Pasca otonomi daerah yang dicanangkan sejak tahun 1999, banyak wilayah-wilayah yang memekarkan diri menjadi Provinsi baru juga Kabupaten/Kota di Indonesia. Kabupaten Bolaang Mongondow yang dibentuk sejak tahun 1954, pada tahun 2007 memekarkan Kota Kotamobagu berdasarkan UU No. 4 Tahun 2007 tanggal 2 Januari 2007. Kemudian Kabupaten Bolaang Mongondow Utara yang berdasarkan UU No. 10 Tahun 2007 tanggal 2 Januari. Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan dan Kabupaten Bolaang Mongondow Timur menjadi daerah otonomi baru setahun kemudian di 2008. Kini bekas Afdeeling Bolaang Mongondow telah menjadi 4 Kabupaten dan 1 Kotamadya yang dipersiapkan untuk Provinsi Bolaang Mongondow Raya.
Era globalisasi di mana batas-batas dunia sekakan tidak lagi nampak maka pondasi kebudayaan dan sejarah perlu diperkuat agar kita tidak kehilangan identitas sebagai jati diri dan asal-usul. Wilayah Kotamobagu dan entitasnya yang telah lahir sejak 29 September 1910 hingga hari ini memiliki sejarah panjang yang penuh dengan semangat dan nilai-nilai edukasi yang perlu diwariskan kepada generasi muda. Karena itu agar tidak salah kaprah dalam melihat perjalanan ruang dan waktu, perlu membaca sejarah Kotamobagu yang lengkap dan utuh demi mengungkap tabir masa lalu yang jelas dan memiliki makna sebagai pelajaran bagi kita semua.
*Penulis adalah Ketua Lembaga Pusat Studi Sejarah Bolaang Mongondow Raya (PS2BMR). Mahasiswa Pascasarjana S2 Ilmu Sejarah UNHAS.