BOLMONGRAYA.CO, BOLSEL – Pungutan Liar (Pungli) Pelayanan pengurusan dokumen berlayar untuk kapal nelayan jenis pajeko, di Pelabuhan di Desa Dudepo, Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel), sangat meresahkan nelayan.
Bahkan, beberapa beranggapan, pihak Syahbandar Perhubungan Laut Kotabunan wilayah kerja Pelabuhan Torosik dan Dudepo, serta Petugas Kantor Kesehatan Kapal (KKP) Wilayah Kerja Molibagu semenah-menah dalam menentukan biaya kepengurusan dokumen berlayar.
Seperti yang diungkapkan, HH alias Sah, salah satu di antara pemilik Pajeko yang kita temui media di Pelabuhan Dudepo, Kamis, 11 November 2021 pekan lalu. Ia menduga-duga adanya indikasi pungutan liar (Pungli) di lingkungan Syahbandar Pelabuhan dan petugas KKP.
“Setiap kali berlayar harus keluar biaya, bayar dua ratus ribu itu. Masalahnya ini tiap hari. Dapat tangkapan atau tidak kita sudah mesti bayar itu,” ungkapnya.
Dipaparkan Sah, adapun dokumen yang harus dibayar di antaranya; SIB (Surat Izin Berlayar) Rp 60 ribu, kesehatan kapal Rp 60 ribu, daftar ABK Rp 25 ribu sekali cap dan tambat labuh sebesar Rp 1.750/GT (Gross Tonnage).
“Hanya SLO (Surat Layak Operasi) yang kepengurusannya gratis, sedangkan yang menentukan kita bisa berlayar atau tidak adalah SLO,” bebernya.
Lanjut Sah, dalam sebulan kapalnya hampir tiap hari melakukan pelayaran dan diharuskan membayar.
“Berbeda dengan pelabuhan Lolak dan Manado, itu rata-rata nelayannya berlayar sampai hitungan minggu. Kalau kita di Bolsel ini rata-rata tiap hari, kecuali cuaca sedang buruk,” keluhnya.
Lanjutnya, dalam satu tahun, pemilik pajeko nyaris mengeluarkan Rp 60-an juta hanya untuk mengurus dokumen kapal.
“Saya ingat dulu, awalnya biaya kepengurusan dokumen sekali berlayar hanya dua puluh ribu rupiah, tetapi seiring berjalannya waktu naik-naik terus. Sekarang so dua ratusan ribu,” katanya.
Di lokasi yang sama, HN alias Her, pemilik pajeko lainnya juga menyebutkan, selain membayar kesehatan kapal Rp 60 ribu, setiap pemilik kapal juga dituntut membayar buku kesehatan.
“Torang kalau mo urus kesehatan kapal dorang jaga kase buku. Kong itu buku kesehatan setiap kali penuh depe isi, torang diharuskan beli lagi yang baru. Depe harga dua ratus lima puluh ribu,” ungkapnya.
Menurut Her, beberapa kali pihaknya juga merasa diakali oleh petugas KKP.
“Mengenai obat pak, itu kan dorang so tentukan yang torang harus bayar for kesehatan kapal. Tapi lain kali ABK minta obat dorang nyanda kase,” kesalnya.
Terkait dengan kepengurusan dokumen berlayar, Her juga kesal dengan biaya perpanjangan sertifikat kelaiklautan yang biasanya diurus per tiga bulan atau enam bulan, tergantung kondisi kapal. Termasuk seritifkat Pas Besar yang diurus per tahun.
“Selain mo bayar yang tiap kali melaut itu, ada juga surat yang harus torang bayar per tiga bulan Itu kelaiklautan deng kesempurnaan, itu enam ratus ribu, untuk sertifikat pas besar diurus setahun sekali juga dibayar lebih mahal.”
“Berbeda deng tambat labuh, itu torang tau memang ada depe aturan mar kalo yang lain ini nda jelas. Kitorang tanya di sana, dorang cuma bilang, memang so begitu kata,” sentil Her yang turut dibenarkan Sah.
Menurut Her, sebagai pemilik pajeko dirinya tidak mempersoalkan jika memang retribusi itu murni ditetapkan pemerintah, tetapi retribusi yang ditetapkan pihak syahbandar dinilainya terkesan hanya dibuat-buat.
“Anehnya, setiap kali torang babayar semua persyaratan itu, kalo torang minta nota pembayaran dorang nimau kase,” ungkapnya.
Menurut Sah dan Her, SLO diurus di Pelabuhan Dudepo, retribusi tambat labuh ditarik oleh petugas UPTD provinsi, sementara SIB, kelaiklautan, kesempurnaan, sertifikat pas besar dan kesehatan kapal semua satu paket diurus di Kantor Syahbandar yang berlokasi di Desa Sondana, Kecamatan Bolaang Uki.
“Pak minta tolong jangan kase publis kitorang pe nama asli, kage dorang dapa tau torang balapor pa wartawan kong dorang mo persulit pa kitorang nanti,” ujar Her yang diiyakan oleh Sah di akhir wawancara.
Menanggapi persoalan ini, Kepala Syahbandar Perhubungan Laut Bolsel, Syahril Mokoagow saat ditemui di kantornya, Selasa, 26 November 2021 mengakui pihaknya baru sebatas melayani penerbitan SIB.
“Terkait dengan pelayanan kapal, torang cuma urus SIB, karena di sini belum ada syahbandar perikanan,” katanya.
Syahril pun mengatakan, dasar penerbitan SIB jika pemilik kapal sudah mengantongi SLO.
“Teknis penerbitan SIB harus memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan, yang paling utama SLO, kelaiklautan, kesehatan kapal, daftar ABK dan sebagainya,” katanya lagi.
Ditanya terkait dengan kepengurusan retribusi SIB, Syahril mengaku sebenarnya itu gratis.
“Cuma ada sekedar ada semacam emmm~ (sambil bergumam) artinya kita tidak patok dang.” ujar Syahril agak gemetar.
Ia pun mengakui, penarikan retribusi bagian dari Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).
“Jujur Pak! Jadi mo jujur ini… kitorang pungut secara… artinya… itu cuma torang pe biaya operasional ke sana ke mari dang. Nyanda juga kitorang kase harus begini dang,” kata Syahril agak gugup.
Perihal besaran biaya PNBP, Syahril menyatakan dari regulasi ditetapkan hanya Rp 125 ribu per GT.
“Itu cuma seratus dua puluh lima rupiah per GT-nya. Perkapal itu cuma dua ribu rupiah. Pemeriksaan kapal itu dua puluh lima ribu rupiah.”
“Kalo kesehatan kapal itu lain. Tapi kalo SIB biasa torang minta lima puluh ribu pak. Soalnya kan tempat ini kan cuma rumah pribadi kong torang sewa artinya torang mo babayar akang. Nda ada depe lebeh, cuma itu,” bebernya.
“Artinya buka-bukaan, itupun tidak menjadi patokan seberapa sih dorang kase,” beber Syahril bernada sendu.
Di sisi lain, Syahril juga tidak menampik kepengurusan kesehatan kapal juga dilakukan satu pintu di kantornya.
“Kalo kesehatan kapal biayanya enam puluh ribu rupiah. Tapi sebenarnya kwa itu bukan torang pe rana dang. Karena kebetulan depe petugas cuma satu jadi torang juga bekeng di sini (kantor syahbandar). Soalnya torang juga ada keterlibatan penandatanganan dorang punya dokumen kesehatan.”
“Memang terkesan juga tako pertama. Karena banyak isu torang tarek 120 ribu. Sehingga perintah pimpinan ke kita tidak usah layani kesehatan,” imbuh Syahril.
Sementara itu, terkait dengan pemunguntan sertifikat kelaiklautan Syahril pun mengaku memberikan kelonggaran kepada sejumlah pemilik kapal.
“Depe tenggang sertifikat itu tinggal melihat situasi dan kondisi kapal. Kalo kapal sudah tua torang sudah tidak bisa lagi mengeluarkan sertifikat itu.”
“Ini sifatnya menolong dang. Kemanusiaan toh? Nelayan suka melaut, sertifikat so mati, kapal so tua.”
“Kalo torang mo telusuri secara detil, ada beberapa kapal yang torang so nda bisa kase akang sertifikat layak operasi. Kasiang juga kan?” jelas Syahril.
Syahril juga menyatakan biaya penerbitan sertifikat kelailautan itu hanya Rp 50 ribu.
“Penerbitan sertifikat itu yang disetor ke pusat lima puluh ribu rupiah. Cuma terkadang torang turun periksa kan. Torang nda tentukan besaran tarif sih, tapi istilahnya doi jalan lah.”
“Itupun kalo dorang merasa berat nda jadi masalah noh. Istilahnya dorang pe terima kase begitu dang,” aku Syahril.
Diminta perihal data rekapan penerimaan retribusi PNBP di Syahbandar, Syahril tidak bisa menunjukan data tersebut. “Torang nyanda catat itu pak, depe data ada di pusat,” tandasnya.
Di kesenpatan yang sama, Melisa Robot petugas KKP Wilker Molibagu yang juga hadir di Kantor Syahbandar kala itu mengakui tugasnya untuk memeriksa kesehatan kapal.
“Kita juga ada SIB, ada juga biaya pemeriksaan petugas ke kapal.”
“Bukan cuma orang kan mo periksa ini, Torang periksa apakah ada kecoa ada tikus. Apalagi kalo torang ke torosik, biaya ke sana ditanggung pajeko dang,” cetusnya.
Masalah PNBP sendiri, Melisa mengakui yang ditarik ke nelayan hanya Rp 40 ribu.
“Kalo mo bayar PNBP cuman 40 ribu. Biasanya kan setor di bank, torang mo kase kode billing pajak, cuma kan kalo di bank ba antri jadi dorang (pemilik kapal) bekeng manual,” ujarnya.
Melisa menjelaskan, penentuan PNBP itu semua ditentukan pusat. 1 GT sampai 6 GT gratis. 7 sam 30 ada dasarnya juga, begitu seterusnya.
“Jadi yang dikeluarkan nelayan cuma PNBP dengan biaya pemeriksaan. Biaya pemeriksaan dua puluh lima ribu. Kecuali ke Pelabuhan Torosik nda mungkin dua puluh lima ribu apalagi biaya oto ke sana. Jadi biaya itu biasanya ditanggung pemilik pajeko,” jelas Melisa.
Ditanya serupa terkait data rekapan PNBP saru tahun terakhir. Melisa mengakui memiliki itu, tetapi tidak sinkron dengan jumlah SLO yang diterbitkan.
“Biasa kan klo dorang so ba urus SLO so nda datang kamari pa torang. Dorang so lari akang, jadi nda mungkin juga kan kita mo dapa tau siapa yang so ba urus SLO,” ujarnya.
“Jadi kalo pun ada datanya. Di sana mungkin seratus, di kita sini cuma ada enam puluh, karena sisanya lari,” ujarnya lagi.
Terkait dengan obat-obatan, Melisa menyatakan itu gratis kalau pihaknya ada stok.
“Sebenarnya kwa itu PNBP itu cuma 30 ribu, 10 ribu itu kita pakai untuk babeli obat-obatan ABK. Karena lain kali kalo stok obat habis, kita yang beli akang padorang pake doi sisa tadi itu,” pungkas Melisa.
Sekedar diketahui, berdasarkan data Dinas Perikanan dan Kelautan setempat, di Bolsel ada 48 pajeko. Sekira 33 pajeko merupakan pajeko yang aktif melaut.
***