Oleh : MARHAM BENA, S.PdI
Nedfid Bolaang Mongondow Utara
Pendahuluan
Tujuh puluh lima tahun sudah Indonesia merdeka, perjalanan panjang sejarah negeri ini tak lepas dari perjuangan Founding Father yang telah menguras energy dan jiwa untuk keluar dari kolonialisme.
pasca kemerdekaan tak serta merta menjadikan kita terlepas dari penjajahan kolonialis masih banyak perlawanan-perlawanan yang selalu bergejolak. Namun seiring berjalannya waktu perlahan tapi pasti Negara ini menemukan jati dirinya sebagai Negara bangsa yang merdeka secara utuh.
Begitu juga perjalan demokrasi indoesia pasca kemerdekaan, dimulai dengan system demokrasi parlemeter hingga system demokrasi pancasila.
Indonesia adalah adalah sebuah Negara demokrasi dimana legitimasi pemerintah atau adanya penerimaan dan pengakuan hak moral rakyat kepada pemimpin untuk memerintah, yang dalam implementasi menggunakan sistem perwakilan yang diintegrasikan dalam partai politik melalui pemilihan umum.
Budaya politik yang partisipatif yang dianut masyarakat menyebabkan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan demokrasi semakin bergairah. Sehingga melahirkan multi partai dalam kontestasi politik.
pesta demokrasi pertama yang merupakan awal berdirinya tonggak demokrasi yang merupakan implementasi dari dasar Negara.
Lahirnya berbagai partai politik atau multi partai. Kurang lebih 39 partai politik, 39 organisasi massa dan 48 orang calon perseorangan ambil bagian dalam kontestasi pemilu 1955 untuk memperebutkan 260 kursi DPR. Belum lagi dalam pemilihan dewan konstituante. Dari multi partai politik dan multi ormas serta partisipan perseorangan dalam kontestasi tersebut memunculkan dinamika pertarungan kepentingan, baik kepentingan perorangan maupun kepentingan golongan.
Perjalanan demokrasi Indonesia yang dimulai dari orde lama, orde baru sampai mencapai titik kulminasi pada orde reformasi.
Demokrasi orde reformasi yang kehilangan arah menuntut untuk mendesain konsep pemilihan yang dipilih langsung oleh rakyat baik presiden/wakil presiden, gubernur/ wakil gubernur, walikota/wakil walikota dan bupati/wakil bupati, meskipun masih dalam bingkai partisan.
Pemilu langsung ini adalah implementasi demokratisasi terbaik yang dijalankan di Negara ini. Dimana rakyat dapat memilih dan menilai serta berpartisipasi langsung dalam pemilu. Gagasan, ide, konsep, serta kapasitas dan kapabilitas kandidat dapat menjadi dasar dalam menentukan keputusan.
Seiring berjalannya waktu, terjadi pergeseran makna demokrasi dari aspek implikasinya yang kita jalankan. Dalam artian berbagai model dan cara untuk mendapatkan keterpilihan dalam kontestasi. Diantaranya; money politic, politik identitas (SARA) dan berbagai label-label lainnya.
Money politic atau politik uang asumsinya hanya pada tidak terpenuhinya tingkat kesejahteraan rakyat sebagai respons politik saat ini.
Namun, politik identitas adalah praktek politisasi yang berakibat pada disintegrasi bangsa. Keduanya merupakan titik balik dari ketidakpercayaan atas ketidak berpihakan perwakilannya dalam sebuah lembaga.
Dalam makalah ini penyusun lebih fokus pada Politik Identitas dalam pembahasan, sehingga merumuskan masalah “ Politik Identitas dan Nasib Demokrasi”.
Pembahasan
Ada dua kelompok utama (model) demokrasi yaitu: Mojority Democracy dan consensus democracy (lihat. Arend Rijphart). Indonesia adalah Negara yang plural, multi etnis, multi agama dan multi-multi lainnya. Jika kemudian kita menganut democracy majority ini tidak sesuai dengan kondisi demografis masyarakat kita. Indonesia lebih lebih cenderung menggunakan model consensus democracy tentunya ini didasari oleh masyarakat yang plural dan banyak masyarakat minoritas.
Berdirinya Negara ini bukan karena dasar ego Mayoritas-minoritas maupun etnosentris. Tetapi melalui perjalan kontemplasi oleh para ulama dan inisiator-inisiator lainnya.
Negara yang mayoritas beragama Islam bukan berarti Harus menjadi Negara Islam. Tetapi Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan dasar Pancasila dan UUD 1945 adalah jalan tengah sebagai Interpretasi atas nilai Agama.
Politik Identitas dan Nasib Demokrasi
Pilkada Jakarta tahun 2017 adalah puncak kulminasi politik identitas, walaupun hanya bersifat kewilayahan namun desain konsep dan implementasinya menjadi issue Nasional yang market politiknya tinggi.
Belajar dari kontestasi politik DKI Jakarta tahun 2017 yang diwarnai Politik Identitas, Khususnya Politisasi Agama serta biasanya di tahun 2018-2019 (Pilkada, Pileg dan Pilpres) sangat berpotensi menyulitkan pihak-pihak tertentu menyulutkan issue Etnisitas dan Agama. Instrumentasi Agama dan Tokoh Agama merupakan posisi sentral dalam menggoreng issue-issue agama menjadi market politik yang laku di pasaran, Begitu juga dengan issue etnis pun sama halnya.
Mungkin kita pernah mendengar istilah _Post-Truth_ atau dalam bahasa Indonesia di istilahkan pasca kebenaran. Yaitu kondisi yang menggambarkan bahwa emosi dan kepercayaan pribadi lebih mempengaruhi opini public dibandingkan fakta objektif.
Post-Truth menandai era yang dipenuhi repudiasi atau Pengingkaran terhadap Fakta dan akal sehat. Dimana berita bohong, Hoax bahkan konspirasi mudah diakses melalui media, khususnya media sosial.
Dalam hal ini isu Identitas sangat mudah dan laku di masyarakat, apalagi di desain dengan sedemikian rupa untuk mempengaruhi keterpilihan para kontestan politik dalam pilkada.
Dikotomi agama, serta suku dan ras merupakan produk politik pasca kebenaran digoreng seakan-akan dan seolah-olah mewakili aspirasi masyarakat.
Pembenaran melalui dalil-dalil agama dan fakta-fakta subjektif dalam menjual opini untuk kepentingan tertentu.
Pancasila sebagai dasar dan nilai dalam berbangsa dan bernegara mulai terkikis dengan munculnya politik identitas yang pada endingnya terjadi disintegrasi bangsa apabila tidak cepat dikendalikan. Apalagi Negara kita bukan Negara Agama atau Oligarki tak seharusnya identitas-identitas agama atu etnis yang harus mengambil peran politik untuk menegakkan demokrasi.
Dengan demikian demokrasi pancasila yang dibangun oleh founding father terkebiri dengan adanya politik identitas yang mengatasnamakan Suku, Ras dan Agama, dan lain sebagainya.
*Penutup*
Belajar dari kontestasi politik yang sudah kita lewati, politik identitas bukanlah tempat yang tepat untuk demokrasi indonesia. Politik identitas menjadi dosa besar bagi demokrasi kita. Nasib demokrasi Indonesia yang berlandaskan pada Pancasila akan hilang seiring menguatnya politik identitas yang terus terpelihara. Menjadi tanggung jawab kita bersama dalam melawan politik identitas dalam bentuk apapun.
Demikian makalah ini, semoga bermanfaat
Wallahu a’lam bishawab
Wallahul muwafiq ila aqwamith thariq